Powered By Blogger

Jumat, 04 November 2011

Dalam Labuhan Lembutnya Kasihmu (Mengayuh Biduk edisi 7)


(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)

Seorang suami dituntut untuk dapat bersikap lembut terhadap istrinya. Karena, sebagaimana telah dijelaskan Rasulullah r, istri (wanita) diibaratkan seperti tulang rusuk. Jika diluruskan dengan paksa, maka tulang itu akan patah. Dan sebaliknya, jika dibiarkan akan tetap bengkok.
Suami adalah nahkoda dalam bahtera rumah tangga, demikian syariat telah menetapkan. Dengan kesempurnaan hikmah-Nya, Allah I telah mengangkat suami sebagai qawwam (pemimpin).

“Kaum pria adalah qawwam bagi kaum wanita….” (An-Nisa: 34)  
Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah I tentang keluarganya, sebagaimana diberitakan oleh Rasul yang mulia r:

“Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan kelak ia akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Dalam menjalankan fungsinya ini, seorang suami tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku dan kasar terhadap keluarganya. Bahkan sebaliknya, ia harus mengenakan perhiasan akhlak yang mulia, penuh kelembutan, dan kasih sayang.
Meski pada dasarnya ia adalah seorang yang berwatak keras dan kaku, namun ketika berinteraksi dengan orang lain, terlebih lagi dengan istri dan anak-anaknya, ia harus bisa bersikap lunak agar mereka tidak menjauh dan berpaling. Dan sikap lemah lembut ini merupakan rahmat dari Allah I sebagaimana kalam-Nya ketika memuji Rasul-Nya yang mulia: 

“Karena disebabkan rahmat Allah lah engkau dapat bersikap lemah lembut dan lunak kepada mereka. Sekiranya engkau itu adalah seorang yang kaku, keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)
Dalam tanzil-Nya, Allah I juga memerintahkan seorang suami untuk bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.

“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (An-Nisa: 19)
Al-Hafidz Ibnu Katsir t ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan dan penampilan kalian sesuai kadar kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat hal yang sama. Allah I berfirman dalam hal ini:

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228) 
Rasulullah r sendiri telah bersabda:

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku).”
Termasuk akhlak Nabi r, beliau sangat baik hubungannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lembut dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama istri-istrinya. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin berlomba, untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)     
Masih menurut Al-Hafidz Ibnu Katsir t: “(Termasuk cara Rasulullah r dalam memperlakukan para istrinya secara baik) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, para istri Rasulullah r kembali ke rumah masing-masing. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu pakaian. Beliau meletakkan rida (semacam pakaian ihram bagian atas)-nya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan kain/ sarung. Dan biasanya setelah shalat ‘Isya, beliau r masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)
Demikian yang diperbuat Nabi r, seorang Rasul pilihan, pemimpin umat, sekaligus seorang suami dan pemimpin dalam rumah tangganya. Kita dapati petikan kisah beliau dengan keluarganya, sarat dengan kelembutan dan kemuliaan akhlak. Sementara kita diperintah untuk menjadikan beliau sebagai contoh teladan.    
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah contoh yang baik bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan hari akhir. Dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)

(Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma‘ruf) meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu, sepantasnya bagi suami untuk mempergauli istrinya dengan cara yang ma‘ruf,  menemani dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakiti), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya, termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian dan semisalnya. Dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 172)
Rasulullah r sendiri menjadikan ukuran kebaikan seseorang bila ia dapat bersikap baik terhadap istrinya. Beliau pernah bersabda:

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Ahmad, 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)
Nabi r menyatakan:

‘Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya’ karena para istri adalah makhluk Allah yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/273)
Di sisi lain, beliau r memerintahkan untuk berhias dengan kelembutan, sebagaimana tuntunan beliau kepada istrinya ‘Aisyah:

“Hendaklah engkau bersikap lembut1.” (Shahih, HR. Muslim no. 2594)
Dan beliau r menyatakan:

“Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (menjadikan sesuatu itu indah). Dan tidaklah dihilangkan kelembutan itu dari sesuatu melainkan akan memperjeleknya.” (Shahih, HR. Muslim no. 2594)

“Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6024)

“Dan Allah memberikan kepada sikap lembut itu dengan apa yang tidak Dia berikan kepada sikap kaku/ kasar dan dengan apa yang tidak Dia berikan kepada selainnya.” (Shahih, HR. Muslim no. 2593)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Dalam hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan sikap lemah lembut (ar-rifq dengan makna yang telah disebutkan, red) dan penekanan untuk berakhlak dengannya. Serta celaan terhadap sikap keras, kaku, dan bengis. Kelembutan merupakan sebab setiap kebaikan. Yang dimaksud dengan Allah memberikan kepada sikap lembut ini adalah Allah memberikan pahala atasnya dengan pahala yang tidak diberikan kepada selainnya.
Al-Qadhi t berkata: “Maknanya dengan kebaikan tersebut akan dimudahkan tercapainya tujuan-tujuan yang diinginkan dan akan dimudahkan segala tuntutan, maksud dan tujuan yang ada. Di mana hal ini tidak dimudahkan dan tidak disediakan untuk yang selainnya.” (Syarah Shahih Muslim, 16/145)
Dalam hubungan dengan istri dan keluarga, seorang suami harus membiasakan diri dengan sifat rifq ini. Termasuk kelembutan seorang suami ialah bila ia menyempatkan untuk bercanda dan bersenda gurau dengan istrinya. Hal ini dilakukan Rasulullah r dengan istrinya sebagaimana dinukilkan di atas. ‘Aisyah x menceritakan apa yang ia alami dengan suami dan kekasihnya yang mulia. Dalam sebuah safar (perjalanan), Rasulullah r bersabda kepada para shahabatnya:
“Majulah kalian (jalan duluan)”. Maka mereka pun berjalan mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepada ‘Aisyah (yang ketika itu masih belia dan langsing): “Ayo, kita berlomba lari”. Kata Aisyah: “Akupun berlomba bersama beliau dan akhirnya dapat mendahului beliau”. Waktupun berlalu. Ketika Aisyah telah gemuk, Rasulullah kembali mengajaknya berlomba dalam satu safar yang beliau lakukan bersama ‘Aisyah. Beliau bersabda kepada para shahabatnya: “Majulah kalian”. Maka mereka pun mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepadaku: “Ayo, kita berlomba lari”. Kata ‘Aisyah: “Aku berusaha mendahului beliau namun beliau dapat mengalahkanku”. Mendapatkan hal itu, beliau pun tertawa seraya berkata: “Ini sebagai balasan lomba yang lalu (kedudukannya seri, red).” (HR. Abu Dawud no. 2214. Asy-Syaikh Muqbil t menshahihkan sanad hadits ini dalam takhrij beliau terhadap Tafsir Ibnu Katsir, 2/286).
Allah I Yang Maha Adil menciptakan wanita dengan segala kekurangan dan kelemahannya. Ia butuh dibimbing dan diluruskan karena ia merupakan makhluk yang diciptakan dari tulang yang bengkok. Namun meluruskannya butuh kelembutan dan kesabaran agar ia tidak patah.

“Wanita itu seperti tulang rusuk, bila engkau meluruskannya engkau akan mematahkannya. Dan bila engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau dapat bersenang-senang dengannya namun pada dirinya ada kebengkokan.”
Demikian disabdakan Rasulullah r dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5184) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 1468). Hadits ini diberi judul bab oleh Al-Imam Al-Bukhari dengan bab Al-Mudarah ma’an Nisa (Bersikap baik, ramah dan lemah lembut terhadap para istri). 
Rasul yang mulia r, juga bersabda:


“Berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri) dengan kebaikan karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang paling atas. Bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Namun bila engkau biarkan begitu saja (tidak engkau luruskan) maka dia akan terus menerus bengkok. Karena itu berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5186 dan Muslim no. 1468)
Dalam riwayat Muslim disebutkan:

“Dan bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan patahnya adalah dengan menceraikannya.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Sabda Nabi r   ‘Berwasiatlah kalian’ maksudnya adalah aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik dengan para wanita (istri). Maka terimalah wasiatku ini berkenaan dengan diri mereka, dan amalkanlah.”
Beliau melanjutkan: “Dan  dalam  sabda Nabi   ‘kepada para wanita (istri) dengan kebaikan’ seakan-akan ada isyarat agar suami meluruskan istrinya dengan lembut, tidak berlebih-lebihan hingga mematahkannya. Dan tidak pula membiarkannya hingga ia terus menerus di atas kebengkokannya.” (Fathul Bari, 9/306)
Dalam hadits ini juga ada beberapa faidah, di antaranya disukai untuk bersikap baik dan lemah lembut terhadap istri untuk menyenangkan hatinya, Hadits ini juga menunjukkan bagaimana mendidik wanita dengan memaafkan dan bersabar atas kebengkokan mereka. Siapa yang tidak berupaya meluruskan mereka (dengan cara yang halus), dia tidak akan dapat mengambil manfaat darinya. Padahal, tidak ada seorang pun yang tidak butuh dengan wanita untuk mendapatkan ketenangan bersamanya dan membantu dalam kehidupannya. Hingga seakan-akan Nabi mengatakan: “Merasakan kenikmatan dengan istri tidak akan sempurna kecuali dengan bersabar terhadapnya”. Dan satu faidah lagi yang tidak boleh diabaikan adalah tidak disenangi bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya tanpa sebab yang jelas. (Lihat Fathul Bari, 9/306, Syarah Shahih Muslim, 10/57)
Dengan tuntunan beliau di atas, seyogyanya seorang suami menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan penuh kelembutan dan kasih sayang kepada istri dan keluarganya yang lain. Sebagaimana istrinya pun diperintah untuk taat kepadanya dalam perkara yang baik, sehingga akan terwujud ketenangan di antara keduanya dan abadilah ikatan cinta dan kasih sayang.

“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri (pasangan hidup) dari jenis kalian agar kalian merasakan ketenangan bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasih sayang2 di antara kalian.” (Ar-Rum: 21)

“Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia menjadikan pasangan dari jiwa yang satu itu, agar jiwa tersebut merasa tenang bersamanya.” (Al-A`raf: 189)
Demikian kemuliaan dan kelembutan Islam yang menuntut pengamalan dari kita sebagai insan yang mengaku tunduk kepada aturan Ilahi. Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.



1 Makna ar-rifq sendiri adalah bersikap lunak terhadap orang lain, baik dengan ucapan maupun dalam perbuatan, dan mengambil yang paling mudah dari perkara yang ada. Ar-Rifq ini lawan dari sikap kasar, keras, bengis dan kejam. (Fathul Bari, 10/464)
2 Ibnu ‘Abbas dan Mujahid berkata: “Al-Mawaddah adalah jima’ (senggama) dan Ar-Rahmah adalah anak.” Demikian pula yang dikatakan Al-Hasan. Ada pula yang mengatakan Al-Mawaddah wa Ar-Rahmah adalah hati mereka condong dan dipenuhi kelembutan terhadap pasangan hidupnya. As-Suddi mengatakan: “Al-Mawaddah adalah cinta sedangkan Ar-Rahmah adalah kasih sayang”. Diriwayatkan pula yang semakna dengan ini dari Ibnu ‘Abbas. Ia menyatakan: “Al-Mawaddah adalah kecintaan seorang lelaki terhadap istrinya, dan Ar-Rahmah adalah kasih sayangnya terhadap istrinya, jangan sampai istrinya itu ditimpa kejelekan.” (Al-Jami` li Ahkamil Qur’an, Al-Qurthubi, 13/13)





Kezuhudan Dan Kesederhanaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

                                                                                                                                         
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling zuhud di dunia ini dan paling cinta dengan kehidupan akhirat. Allah Ta’ala pernah memberikan pilihan padanya antara menjadi ‘seorang raja dan nabi’ atau ‘seorang hamba Allah dan utusan Allah’, maka beliau pun memilih untuk menjadi ‘seorang hamba Allah dan utusan Allah’.
Allah Ta’ala juga pernah memberinya pilihan antara hidup di dunia ini dengan hidup sesukanya atau memilih yang ada di sisi Allah, beliau pun memilih apa yang berada di sisi-Nya.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku pernah masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pada saat beliau berada di atas tempat tidurnya berselimutkan sebuah kain tenunan yang sempit, dan di bawah kepalanya terdapat bantal dari kulit yang berisi serabut.  Kemudian sekelompok orang datang menemui beliau, dan Umar juga masuk menemuinya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun membalikkan badannya, sehingga Umar tidak melihat kain yang berada di antara sisi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan kain selimut. Dan kain selimut tersebut telah membuat bekas di pinggang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Umar pun menangis. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:
((مَا يُبْكِيكَ يَا عُمَرُ؟)) قَالَ: وَاللهِ إِلاَّ أَنْ أَكُوْنَ أَعْلَمُ أَنَّكَ أَكْرَمُ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ كِسْرَى وَقَيْصَرَ، وَهُمَا يَعْبَثَانِ فِي الدُّنْيَا فِيْمَا يَعْبَثَانِ فِيْهِ، وَأَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ بِالْمَكَانِ الَّذِي أَرَى! فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا اْلآخِرَةُ؟)) قَالَ عُمَرُ: بَلَى، قَالَ: ((فَإِنَّهُ كَذَلِكَ))
“Apa yang telah membuatmu menangis, wahai Umar?” Umar menjawab: “Demi Allah, tidak ada wahai Rasulullah, hanya saja aku mengetahui bahwa engkau adalah orang yang paling mulia di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dari Kisra Persia dan Kaisar Romawi. Keduanya selalu bermain-main di dunia ini, sedangkan engkau wahai Rasulullah, berada di tempat yang aku lihat (seperti ini).” Nabi pun berkata: “Apakah engkau tidak rela, kalau dunia ini bagi mereka dan akhirat bagi kita?” Umar menjawab: “Tentu saja, (wahai Rasulullah).” Beliau berkata: “Sesungguhnya itu memang demikian.”[1]
Inilah untaian mutiara akhlak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka jadikanlah akhlak tersebut sebagai lentera penerangan yang dengannya kalian akan meneladaninya dan mengambil petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan berjalanlah sesuai di atas manhajnya, sehingga kalian akan mendapat petunjuk. Karena Allah telah mentabiatkan beliau pada akhlak yang mulia dan Dia menyuruh kita untuk meeladaninya. Allah Ta’ala berfirman:
{فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتََدُون}
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (Al-A’raf: 158)
Semoga Allah memberikan kami dan kalian semua kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini. Dan semoga Dia memberi kita taufik untuk mengikuti sunnah dan petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sampai kematian menjemput kita semua. Dan semoga keselamatan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.

[1] HR. Ahmad 3/139, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 6362.

(Sumber: Makarimul Akhlaq Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)